Kamis, 24 Maret 2011

PERILAKU PROSOSIAL ( prosocial behavior )

PERILAKU PROPOSOSIAL

Baron & Byrne (2003) menjelaskan perilaku prososial sebagai segala tindakan apa pun yang menguntungkan orang lain. Secara umum, istilah ini diaplikasikan pada tindakan yang tidak
menyediakan keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan bahkan mungkin mengandung derajat resiko tertentu.

Menurut Staub (Dayakisni & Hudaniah, 2006) ada tiga indicator yang menjadi tindakan prososial, yaitu:
a. Tindakan itu berakhir pada dirinya dan tidak menuntut keuntungan pada pihak pelaku.
b. Tindakan itu dilahirkan secara sukarela.
c. Tindakan itu menghasilkan kebaikan.

Tahap-tahap dalam Perilaku Prososial

Ketika seseorang memberi pertolongan, maka hal itu didahului oleh adanya proses psikologis hingga pada keputusan menolong. Latane & Darley (Baron & Byrne, 2003; Faturochman, 2006) menemukan bahwa respons individu dalam situasi darurat meliputi lima langkah penting, yang dapat menimbulkan perilaku prososial atau tindakan berdiam diri saja. Tahap-tahap yang telah teruji bebeapa kali dan sampai saat ini masih banyak digunakan meliputi:

a. Menyadari adanya keadaan darurat, atau tahap perhatian. pada perhatian terkadang sering terganggu oleh adanya hal-hal lain seperti kesibukan, ketergesaan, mendesaknya kepentingan lainnya
.b. Menginterpretasikan keadaan sebagai keadaan darurat. Bila pemerhati menginterpretasi suatu kejadian sebagai sesuatu yang membuat orang membutuhkan pertolongan, maka kemungkinan besar akan diinterpretasikan sebagai korban yang perlu pertolongan.


c. Mengasumsikan bahwa adalah tanggung jawabnya untuk menolong. Ketika individu memberi perhatian kepada beberapa kejadian eksternal dan menginterpretasikannya sebagai suatu situasi darurat, perilaku prososial akan dilakukan hanya jika orang tersebut mengambil tanggung jawab untuk menolong. Apabila tidak muncul asumsi ini, maka korban akan dibiarkan saja, tanpa memberikan pertolongan. Baumeister dkk. menemukan ketika tanggung jawab tidak jelas, orang cenderung mengasumsikan bahwa siapa pun dengan peran pemimpin seharusnya bertanggung jawab.
e. Mengambil keputusan untuk menolong. Meskipun sudah sampai ke tahap dimana individu merasa bertanggung jawab member pertolongan pada korban, masih ada kemungkinan ia memutuskan tidak member pertolongan. Berbagai kekhawatiran bisa timbul yang menghambat terlaksananya pemberian pertolongan Pertolongan pada tahap akhir ini dapat dihambat oleh rasa takut (sering kali merupakan rasa takut yang realistis) terhadap adanya konsekuensi negatif yang potensial .

Terdapat beberapa faktor yang mendasari seseorang untuk bertindak prososial, yaitu;

a. Self-gain: harapan seseorang untuk memperoleh atau menghindari kehilangan sesuatu, misalnya ingin mendapatkan pengakuan, pujian atau takut dikucilkan.
b. Personal values and norms: adanya nilai-nilai dan norma sosial yang diinternalisasikan oleh individu selama mengalami sosialisasi dan sebagian nilai-nilai serta norma tersebut berkaitan dengan tindakan prososial, seperti berkewajiban menegakkan kebenaran dan keadilan serta adanya norma timbal balik.
c. Empathy: kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman orang lain.

Senin, 21 Maret 2011

bencana tsunami di jepang dan dampak-dampaknya dengan kajian psikologi (Post traumatic stress disorder).

KOMPAS , Sabtu, 19 Maret 2011 | 19:35 WIB

Krisis nuklir acapkali menimbulkan ketakutan. Saat bom atom pertama diciptakan, hingga nuklir ditemukan, manusia berada dalam ketakutan yang konstan. Ini yang dulu dikatakan oleh filsuf Hans Jonas sebagai “heuristik ketakutan”.
Demikian Junanto Herdiawan, warga Indonesia yang bermukim di Toyo, menuliskan pengalamannya di media sosial Kompasiana. Berikut laporan selengkapnya...
Saat krisis reaktor nuklir Fukushima 1 terjadi, saya juga dirambati oleh rasa takut itu. Jarak reaktor nuklir Fukushima dengan Tokyo hanya sekitar 200km. Dalam pikiran saya, sekiranya terjadi hal terburuk, kota Tokyo akan diterjang radiasi nuklir dalam hitungan jam. Makin hari, krisis juga terlihat makin tereskalasi, dan seolah tak terkendali. Berbagai ledakan dan lepasan radioaktif terus berlangsung.
Di sisi lain, media massa terus menerus memberitakan suasana yang mencekam. Saat dikatakan radiasi telah mencapai kota Tokyo, saya makin dilingkupi rasa takut. Keluarga di rumah, anak-anak yang masih kecil, dan terutama dampak radiasi yang mengerikan, menjadi alasan saya untuk takut. Belum lagi ditambah puluhan telpon dan sms dari kerabat di tanah air, yang pesannya sama, “Pulang sekarang juga, keadaan makin bahaya!!”






Post Traumatic Stress Disorder (Gangguan Stres Pascatrauma)


DEFINISI

Psikiater dari Jakarta, Roan, menyatakan bahwa trauma berarti cidera, kerusakan jaringan, luka atau shock. Sementara trauma psikis dalam psikologi diartikan sebagai kecemasan hebat dan mendadak akibat peristiwa dilingkungan seseorang yang melampaui batas kemampuannya untuk bertahan, mengatasi atau menghindar (Roan: 2003).
PTSD merupakan sindrom kecemasan, labilitas otonomik, ketidakrentanan emosional, dan kilas balik dari pengalaman yang amat pedih itu setelah stress fisik maupun emosi yang melampaui batas ketahanan orang biasa (Kaplan: 1997).


PENGOBATAN

Pengobatan bisa termasuk psikoterapi (mendukung dan melakukan terapi) dan pemberian obat antidepresan. Pengobatan memerlukan psikoterapi (termasuk terapi kontak) dan terapi obat. Karena sering kegelisahan hebat yang dihubungkan dengan kenangan yang menggoncangkan jiwa, psikoterapi mendukung memainkan tugas yang teramat penting pada pengobatan. Ahli terapi secara terbuka berempati dan bersimpati dalam mengenal rasa sakit psikologis. Ahli terapi menenteramkan orang bahwa respon mereka nyata tetapi menganjurkan mereka menghadapi kenangan mereka (sebagai bentuk terapi kontak). Mereka juga diajar cara untuk kegelisahan kontrol, yang menolong memodulasi dan mengintegrasikan kenangan menyiksa ke dalam kepribadian mereka.
Psikoterapi insight-oriented bisa membantu orang yang merasa merasa bersalah memahami mengapa mereka menghukum diri mereka sendiri dan membantu menghilangkan perasaan bersalah.


DAMPAKNYA DARI MUSIBAH TERSEBUT

Manusia tersebut berada dalam ketakutan yang hebat dan dahsyat dan selalu di cemaskan atau ditakutkan atau lebih sering dikenal seseorang tersebut bisa trauma karna kejadian tersebut , ia juga mungkin bingung dan bisa-bisa terkena PTSD atau sering biasanya disebut dengan sindrom kecemasan, labilitas otonomik, ketidakrentanan emosional, dan kilas balik dari pengalaman yang amat pedih itu setelah stress fisik maupun emosi yang melampaui batas ketahanan orang biasa . Sementara trauma psikis dalam psikologi diartikan sebagai kecemasan hebat dan mendadak akibat peristiwa dilingkungan seseorang yang melampaui batas kemampuannya untuk bertahan, mengatasi atau menghindar .
Biasanya Pengobatan bisa termasuk psikoterapi (mendukung dan melakukan terapi) dan pemberian obat antidepresan. Pengobatan memerlukan psikoterapi (termasuk terapi kontak) dan terapi obat. Karena sering kegelisahan hebat yang dihubungkan dengan kenangan yang menggoncangkan jiwa, psikoterapi mendukung memainkan tugas yang teramat penting pada pengobatan. Ada dua macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan penderita PTSD, yaitu dengan menggunakan farmakoterapi dan psikoterapi. Pengobatan farmakoterapi dapat berupa terapi obat hanya dalam hal kelanjutan pengobatan pasien yang sudah dikenal. Dalam cognitive therapy, terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu emosi dan mengganggu kegiatan -kegiatan kita.



DAFTAR PUSTAKA

Yurika Fauzia Wardhani & Weny Lestari, “Gangguan Stres Pasca Trauma pada Korban BENCANA ALAM DAN SEKITARNYA”.
W. Roan, “Melupakan Kenangan Menghapus Trauma” dalam Intisari, Desember 2003,

HASNI YULIANTI
13509664
2PA03

Senin, 14 Maret 2011

penyesuaian diri , pertumbuhan personal , dan stres

A. PENGERTIAN

Penyesuaian diri dalam bahasa aslinya dikenal dengan istilah adjustment atau personal adjustment. Schneiders berpendapat bahwa penyesuaian diri dapat ditinjau dari tiga sudut pandang, yaitu: penyesuaian diri sebagai adaptasi (adaptation), penyesuaian diri sebagai bentuk konformitas (conformity), dan penyesuaian diri sebagai usaha penguasaan (mastery) .Pada mulanya penyesuaian diri diartikan sama dengan adaptasi (adaptation), padahal adaptasi ini pada umumnya lebih mengarah pada penyesuaian diri dalam arti fisik, fisiologis, atau biologis. Misalnya, seseorang yang pindah tempat dari daerah panas ke daerah dingin harus beradaptasi dengan iklim yang berlaku di daerah dingin tersebut.
Menurut Kartono (2000), penyesuaian diri adalah usaha manusia untuk mencapai harmoni pada diri sendiri dan pada lingkungannya. Sehingga permusuhan, kemarahan, depresi, dan emosi negatif lain sebagai respon pribadi yang tidak sesuai dan kurang efisien bisa dikikis.
Ali dan Asrori (2005) juga menyatakan bahwa penyesuaian diri dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang mencakup respon-respon mental dan perilaku yang diperjuangkan individu agar dapat berhasil menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustasi, konflik, serta untuk menghasilkan kualitas keselarasan antara tuntutan dari dalam diri individu dengan tuntutan dunia luar atau lingkungan tempat individu berada.
B. Bentuk-bentuk Penyesuaian Diri
Menurut Sunarto dan Hartono (1995) terdapat bentuk-bentuk dari penyesuaian diri, yaitu:
1. Penyesuaian diri positif ditandai dengan hal-hal sebagai berikut:
• Tidak adanya ketegangan emosional.
• Tidak menunjukkan adanya mekanisme-mekanisme psikologis.
• Tidak menunjukkan adanya frustasi pribadi.
• Memiliki pertimbangan rasional dan pengarahan diri.
• Mampu dalam belajar.
• Menghargai pengalaman.
• Bersikap realistik dan objektif.
Dalam melakukan penyesuaian diri secara positif, individu akan melakukannya dalam berbagai bentuk, antara lain:
• Penyesuaian dengan menghadapi masalah secara langsung. Individu secara langsung menghadapi masalah dengan segala akibatnya. Misalnya seorang siswa yang terlambat dalam menyerahkan tugas karena sakit, maka ia menghadapinya secara langsung, ia mengemukakan segala masalahnya kepada guru.
• Penyesuaian dengan melakukan eksplorasi (penjelajahan). Individu mencari bahan pengalaman untuk dapat menghadapi dan memecahkan masalahnya. Misal seorang siswa yang merasa kurang mampu dalam mengerjakan tugas, ia akan mencari bahan dalam upaya menyelesaikan tugas tersebut, dengan membaca buku, konsultasi, diskusi, dan sebagainya.
• Penyesuaian dengan trial and error atau coba-coba. Individu melakukan suatu tindakan coba-coba, jika menguntungkan diteruskan dan jika gagal tidak diteruskan.
C. Ada tiga bentuk reaksi dalam penyesuaian yang salah yaitu:
• Reaksi bertahan (defence reaction)
Individu berusaha untuk mempertahankan diri, seolah-olah tidak menghadapi kegagalan. Bentuk khusus reaksi ini antara lain:
o Rasionalisasi, yaitu bertahan dengan mencari-cari alasan untuk membenarkan tindakannya.
o Represi, yaitu berusaha melupakan pengalamannya yang kurang menyenangkan. Misalnya seorang pemuda berusaha melupakan kegagalan cintanya dengan seorang gadis.
o Proyeksi, yaitu melempar sebab kegagalan dirinya kepada pihak lain untuk mencari alasan yang dapat diterima. Misalnya seorang siswa yang tidak lulus mengatakan bahwa gurunya membenci dirinya.
o Sour grapes (anggur kecut), yaitu dengan memutarbalikkan kenyataan. Misalnya seorang siswa yang gagal mengetik, mengatakan bahwa mesin tik-nya rusak, padahal dia sendiri tidak bisa mengetik.

• Reaksi menyerang (aggressive reaction)
Reaksi-reaksi menyerang nampak dalam tingkah laku : selalu membenarkan diri sendiri, mau berkuasa dalam setiap situasi, mau memiliki segalanya, bersikap senang mengganggu orang lain, menggertak baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan, menunjukkkan sikap permusuhan secara terbuka, menunjukkan sikap menyerang dan merusak, keras kepala dalam perbuatannya, bersikap balas dendam, memperkosa hak orang lain, tindakan yang serampangan, marah secara sadis.
• Reaksi melarikan diri (escape reaction)
Reaksi melarikan diri, nampak dalam tingkah laku seperti berfantasi, yaitu memuaskan keinginan yang tidak tercapai dalam bentuk angan-angan, banyak tidur, minum-minuman keras, bunuh diri, menjadi pecandu ganja, narkotika, dan regresi yaitu kembali kepada tingkah laku yang tipis pada tingkat perkembangan yang lebih awal, misalnya orang dewasa yang bersikap dan berwatak seperti anak kecil, dan lain-lain.

PERTUMBUHAN PERSONAL

A. Pengertian pertumbuhan personal :
Manusia merupakan makhluk individu. Manusia itu disebut individu apabila pola tingkah lakunya bersifat spesifik dirinya dan bukan lagi mengikuti pola tingkah laku umum. Ini berarti bahwa individu adalah seorang manusia yang tidak hanya memiliki peranan-peranan yang khas didalam lingkungan sosialnya, melainkan juga mempunyai kepribadian serta pola tingkah laku spesifik dirinya. Kepribadian suatu individu tidak sertamerta langsung terbentuk, akan tetapi melalui pertumbuhan sedikit demi sedikit dan melalui proses yang panjang.
Setiap individu pasti akan mengalami pembentukan karakter atau kepribadian. Dan hal itu membutuhkan proses yang sangat panjang dan banyak faktor yang mempengaruhinya terutama lingkungan keluarga. Hal ini disebabkan karena keluarga adalah kerabat yang paling dekat dan kita lebih banyak meluangkan waktu dengan keluarga. Setiap keluarga pasti menerapkan suatu aturan atau norma yang mana norma-norma tersebut pasti akan mempengaruhi dalam pertumbuhan individu. Bukan hanya dalam lingkup keluarga, tapi dalam lingkup masyarakat pun terdapat norma-norma yang harus di patuhi dan hal itu juga mempengaruhi pertumbuhan individu.
Dengan adanya naluri yang dimiliki suatu individu, dimana ketika dapat melihat lingkungan di sekitarnya maka secara tidak langsung maka individu akan menilai hal-hal di sekitarnya apakah hal itu benar atau tidak, dan ketika suatu individu berada di dalam masyarakat yang memiliki suatu norma-norma yang berlaku maka ketika norma tersebut di jalankan akan memberikan suatu pengaruh dalam kepribadian, misalnya suatu individu ada di lingkungan masyarakat yang disiplin yang menerapkan aturan-aturan yang tegas maka lama-kelamaan pasti akan mempengaruhi dalam kepribadian sehingga menjadi kepribadian yang disiplin, begitupun dalam lingkungan keluarga, semisal suatu individu berada di lingkup keluarga yang religius maka individu tersebut akan terbawa menjadi pribadi yang religius.
Terjadinya perubahan pada seseorang secara tahap demi tahap karena pengaruh baik dari pengalamaan atau empire luar melalui panca indra yang menimbulkan pengalaman dalam mengenai keadaan batin sendiri yang menimblkan reflexions.
B. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan individu, yaitu:

1. Faktor Biologis
Semua manusia normal dan sehat pasti memiliki anggota tubuh yang utuh seperti kepala, tangan , kaki dan lainya. Hal ini dapat menjelaskan bahwa beberapa persamaan dalam kepribadian dan perilaku. Namun ada warisan biologis yang bersifat khusus. Artinya, setiap individu tidak semua ada yang memiliki karakteristik fisik yang sama.


2. Faktor Geografis
Setiap lingkungan fisik yang baik akan membawa kebaikan pula pada penghuninya. Sehingga menyebabkan hubungan antar individu bisa berjalan dengan baik dan mencimbulkan kepribadian setiap individu yang baik juga. Namun jika lingkungan fisiknya kurang baik dan tidak adanya hubungan baik dengan individu yang lain, maka akan tercipta suatu keadaan yang tidak baik pula.
3. Faktor Kebudayaan Khusus
Perbedaan kebuadayaan dapat mempengaruhi kepribadian anggotanya. Namun, tidak berarti semua individu yang ada didalam masyarakat yang memiliki kebudayaan yang sama juga memiliki kepribadian yang sama juga.
Dari semua faktor-faktor di atas dan pengaruh dari lingkungan sekitar seperti keluarga dan masyarakat maka akan memberikan pertumbuhan bagi suatu individu :
1. Aliran asosiasi
perubahan terhadap seseorang secara bertahap karena pengaruh dan pengalaman atau empiri (kenyataan) luar, melalui panca indera yang menimbulkan sensasiton (perasaan) maupun pengalaman mengenai keadaan batin sendiri yang menimbulkan reflektion.
2. Psikologi gestalt
pertumbuhan adalah proses perubahan secara perlahan-lahan pada manusia dalam mengenal sesuatu secara keseluruhan, baru kemudian mengenal bagian-bagian dari lingkungan yang ada.
3. Aliran sosiologi
Pertumbuhan adalah proses sosialisasi yaitu proses perubahan dari sifat yang semula asosial maupun sosial kemudian tahap demi tahap disosialisasikan. Pertumbuhan individu sangat penting untuk dijaga dari sejak lahir agar bisa tumbuh menjadi individu yang baik dan berguna untuk sesamanya.

A. STRESS
Stress adalah suatu ketidakseimbangan diri/jiwa dan realitas kehidupan setiap hari yang tidak dapat dihindari à perubahan yang memerlukan penyesuaian Sering dianggap sebagai kejadian atau perubahan negatif yang dapat menimbulkan stress, seperti cedera, sakit atau kematian orang yag dicintai, putus cinta Perubahan positif juga dapat menimbulkan stress, seperti naik pangkat, perkawinan, jatuh cinta .

B. JENIS STRESS
Stress fisik
Stress kimiawi
Stress mikrobiologis
Stress fisiologis
Stress proses tumbuh kembang
Stress psikologis atau emosional
Pengalaman stress dapat bersumber dari : Lingkungan, Diri dan tubuh Pikiran
C. Reaksi Psikologis terhadap stress
a. Kecemasan respon yang paling umum Merupakan tanda bahaya yang menyatakan diri dengan suatu penghayatan yang khas, yang sukar digambarkan Adalah emosi yang tidak menyenangkan istilah “kuatir,” “tegang,” “prihatin,” “takut”fisik jantung berdebar, keluar keringat dingin, mulut kering, tekanan darah tinggi dan susah tidur

b. Kemarahan dan agresi Adalah perasaan jengkel sebagai respon terhadap kecemasan yang dirasakan sebagai ancaman.Merupakan reaksi umum lain terhadap situasi stress yang mungkin dapat menyebabkan agresi, Agresi ialah kemarahan yang meluap-luap, dan orang melakukan serangan secara kasar dengan jalan yang tidak wajar.Kadang-kadang disertai perilaku kegilaan, tindak sadis dan usaha membunuh orang
c. Depresi Keadaan yang ditandai dengan hilangnya gairah dan semangat. Terkadang disertai rasa sedih
D. AKIBAT STRES
Stres menampakkan diri dengan berbagai cara. Sebagai contoh, seorang individu yang sedang stres berat mungkin mengalami tekanan darah tinggi, seriawan, jadi mudah jengkel, sulit membuat keputusan yang bersifat rutin, kehilangan selera makan, rentan terhadap kecelakaan, dan sebagainya. Akibat stres dapat dikelompokkan dalam tiga kategori umum: gejala fisiologis, gejala psikologis, dan gejala perilaku.
Pengaruh gejala stres biasanya berupa gejala fisiologis. Terdapat riset yang menyimpulkan bahwa stres dapat menciptakan perubahan dalam metabolisme, meningkatkan detak jantung dan tarikan napas, menaikkan tekanan darah, menimbulkan sakit kepala, dan memicu serangan jantung.
Stres yang berkaitan dengan pekerjaan dpat menyebabkan ketidakpuasan terkait dengan pekerjaan.]Ketidakpuasan adalah efek psikologis sederhana tetapi paling nyata dari stres.Namun stres juga muncul dalam beberapa kondisi psikologis lain, misalnya, ketegangan, kecemasan, kejengkelan, kejenuhan, dan sikap yang suka menunda-nunda pekerjaan.
Gejala stres yang berkaitan dengan perilaku meliputi perubahan dalam tingkat produktivitas, kemangkiran, dan perputaran karyawan, selain juga perubahan dalam kebiasaan makan, pola merokok, konsumsi alkohol, bicara yang gagap, serta kegelisahan dan ketidakteraturan waktu tidur.[10] Ada banyak riset yang menyelidiki hubungan stres-kinerja. Pola yang paling banyak dipelajari dalam literatur stres-kinerja adalah hubungan U-terbalik. Logika yang mendasarinya adalah bahwa tingkat stres rendah sampai menengah merangsang tubuh dan meningkatkan kemampuannya untuk bereaksi.Pola U-terbalik ini menggambarkan reaksi terhadap stres dari waktu ke waktu dan terhadap perubahan dalam intensitas stres.

2. General Adaptation Syndrom (GAS)
a. Fase Alarm ( Waspada)
Melibatkan pengerahan mekanisme pertahanan dari tubuh dan pikiran untuk menghadapi stressor. Reaksi psikologis “fight or flight” dan reaksi fisiologis. Tanda fisik : curah jantung meningkat, peredaran darah cepat, darah di perifer dan gastrointestinal mengalir ke kepala dan ekstremitas. Banyak organ tubuh terpengaruh, gejala stress memengaruhi denyut nadi, ketegangan otot dan daya tahan tubuh menurun.
Fase alarm melibatkan pengerahan mekanisme pertahanan dari tubuh seperti pengaktifan hormon yang berakibat meningkatnya volume darah dan akhirnya menyiapkan individu untuk bereaksi. Hormon lainnya dilepas untuk meningkatkan kadar gula darah yang bertujuan untuk menyiapkan energi untuk keperluan adaptasi, teraktifasinya epineprin dan norepineprin mengakibatkan denyut jantung meningkat dan peningkatan aliran darah ke otot. Peningkatan ambilan O2 dan meningkatnya kewaspadaan mental.
Aktifitas hormonal yang luas ini menyiapkan individu untuk melakukan “ respons melawan atau menghindar “. Respon ini bisa berlangsung dari menit sampai jam. Bila stresor masih menetap maka individu akan masuk ke dalam fase resistensi.
b. Fase Resistance (Melawan)
Individu mencoba berbagai macam mekanisme penanggulangan psikologis dan pemecahan masalah serta mengatur strategi. Tubuh berusaha menyeimbangkan kondisi fisiologis sebelumnya kepada keadaan normal dan tubuh mencoba mengatasi faktor-faktor penyebab stress. Bila teratasi gejala stress menurun àtau normal tubuh kembali stabil, termasuk hormon, denyut jantung, tekanan darah, cardiac out put. Individu tersebut berupaya beradaptasi terhadap stressor, jika ini berhasil tubuh akan memperbaiki sel – sel yang rusak. Bila gagal maka individu tersebut akan jatuh pada tahapa terakhir dari GAS yaitu : Fase kehabisan tenaga.
c. Fase Exhaustion (Kelelahan)
Merupakan fase perpanjangan stress yang belum dapat tertanggulangi pada fase sebelumnya. Energi penyesuaian terkuras. Timbul gejala penyesuaian diri terhadap lingkungan seperti sakit kepala, gangguan mental, penyakit arteri koroner, dll. Bila usaha melawan tidak dapat lagi diusahakan, maka kelelahan dapat mengakibatkan kematian.


DAFTAR PUSTAKA
Sunarto & Hartono, B. Agung. (1995). Perkembangan peserta didik. Jakarta: Rineka Cipta Wahjosumidjo.
Kartono, K. (2000). Hygiene mental. Bandung: Mandar Maju.
Hariyadi, Sugeng dkk. (1998). Perkembangan peserta didik. Cetakan ke 3. Semarang: IKIP Semarang Press.
Ali, M. & Asrori, M. (2005). Psikologi remaja perkembangan peserta didik. Jakarta : PT Bumi Aksar
Yusuf,S. (2004). Psikologi perkembangan anak dan remaja. Bandung : PT Remaja Rosdakarya Offset
Fatimah, N. (2006). Psikologi perkembangan. Bandung : Pusaka Setia.


HASNI YULIANTI
13509664
2PA03

Minggu, 06 Maret 2011

Definisi Cinta Menurut KELLY dalam buku kesehatan

Pengertian cinta itu sendiri sulit dibedakan batasan ataupun pengertiannya, karena cinta merupakan salah satu bentuk emosi dan perasaan yang dimiliki individu. Dan sifatnyapun subyektif sehingga setiap individu akan mempunyai makna yang berbeda tergantung pada penghayatan serta pengalamannya.
Jenis-Jenis Cinta menurut Kelly dalam buku kesehatan reproduksi remaja membagi cinta itu menjadi 3 jenis yaitu:
1. Cinta karena nafsu
Yaitu cinta yang mengakibatkan hubungan antar dua orang tidak terkontrol lagi, emosi sangat menguasai akal sehat seseorang sehingga perilaku seolah terjadi secara spontan untuk menjawab rangsangan emosi yang berlebihan
2. Cinta pragmatis
yaitu cinta terjadi keseimbangan antara dua orang, ada rasa suka dan duka, serta adanya timbal balik.
3. Cinta altruistik
biasanya terjadi pada seorang ibu kepada anaknya, cinta ini disertai kasih sayang yang tidak ada batasnya.
Cinta itu berada pada ranah emosional dan rasional. Cinta emosional ini datang dan pergi tanpa diprediksi,misalkan: aku mencintaimu pada pandangan pertama, meski aku tak bahagia bersamanya aku tetap mencintainya dll.




Ciri-ciri cinta emosional
• Adanya perasaan yang sangat kuat, normalnya diarahkan pada lawan jenis, dimana yang ada pada pikiran serta hati adalah bayangan kekasihnya
• Adanya egoisme, biasanya ada harapan-harapan bahwa kekasihnya adalah ideal yang ada dipikirannya dan merasa kecewa kalau kekasihnya berbeda dengan apa yang ia harapkan
• Cinta emosional mengandung unsur erotisme,yang biasanya ingin mengungkapkan rasa cintanya dengan berpegangan tangan, berpelukan dll. Sedangkan cinta rasional tidak didominasi oleh perasaan yang kuat tetapi lebih pada akal pikiran. Cinta rasional ini biasanya tidak peduli apakah perasaannya kepada seseorang yang dikuasai ini dibalas atau tidak, karena ciri utama dari cinta ini adalah memberi tanpa pamrih dan tanpa syarat.

Sabtu, 05 Maret 2011

tokoh filsafat manusia dan pandangannya tentang manusia

MANUSIA SEBAGAI INDIVIDU DISKURSIF: Manusia dalam Pemikiran Filsafat Jürgen Habermas

Setiap masa mempunyai caranya sendiri untuk menempatkan manusia dan masyarakatnya dalam jalur-jalur yang tepat. Setiap perubahan yang terjadi selalu dimulai dari kenyataan bahwa cara-cara yang lama sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Zaman berubah, maka manusia pun berubah. Tidak pernah ada suatu hal pun yang statis dan tetap serta tidak berubah. Kalaupun ada, mesti dipertanyakan lagi pandangan seperti itu.
Oleh karena perubahan-perubahan yang terjadi dan mengisyaratkan perubahan manusia juga, maka pemikiran-pemikiran baru yang sesuai dengan masanya tentang hakekat manusia pun dibutuhkan. Dalam kerangka itu, penulis memilih pemikiran Jürgen Habermas tentang manusia sebagai topik kajian dalam makalah tentang Filsafat Manusia ini. Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa pemikiran filsuf siapa pun, tentang apa pun selalu dimulai dengan pandangannya tentang apa dan siapa itu manusia, maka Penulis meyakini bahwa Habermas pun demikian adanya. Ia memulai gagasan-gagasannya yang sampai saat ini belum selesai dengan apa dan siapa itu manusia dalam konteksnya yang lebih luas. Dalam makalah ini, Penulis mengedepankan gagasan Habermas tentang manusia sebagai individu diskursif. Gagasan inilah yang mendasari pemikiran Habermas tentang masyarakat komunikatif di mana ruang diskursif menjadi tempat bagi manusia untuk berada secara ideal. Upaya penemuan gagasan Habermas tentang individu diskursif tentu membutuhkan bacaan yang kritis dan hati-hati terhadap karya-karya Habermas.
Oleh karena keterbatasan Penulis, maka beberapa literatur utama yang digunakan oleh Penulis adalah literatur yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Selain itu, sumber-sumber sekunder yang digunakan juga adalah tulisan-tulisan tentang pemikiran Habermas oleh orang Indonesia, dalam konteks Indonesia.




Untuk membicarakan tentang pemikiran Habermas, maka titik tolak pemikirannya adalah cita-cita yang dirumuskan oleh Max Horkheimer untuk mengembangkan sebuah teori masyarakat yang kritis, sebagai kritik demi praksis perubahan sosial. Teori kritis yang dimaksud adalah teori kritis yang bertujuan untuk menelusuri sejarah penderitaan manusia sebagai sejarah penindasan dan dengan membukanya pada praktek emansipatif. Cita-cita ini berujung pada pembebasan yang mengembalikan hubungan antar-manusia yang tidak lagi ditentukan oleh mekanisme-mekanisme sistem pasar, melainkan sesuai dengan cita-cita manusia sendiri (Franz Magnis-Suseno, 2005: 161).

Namun dalam perkembangannya, cita-cita yang baik dari para pemikir teori kritis yang tergabung dalam Mazhab Frankfurt itu tidak berjalan sebagaimana yang diinginkan. Para pemikir Mazhab Frankfurt periode pertama bahkan tiba pada kebuntuan dalam membahas gagasan yang dapat diandalkan dalam mewujudkan cita-cita itu. Kebuntuan itu terutama muncul dalam apa yang disebut sebagai dialektika pencerahan, bahwa Teori Kritis yang dilandasi rasio kritis itu sendiri bisa berubah menjadi mitos atau ideologi dalam bentuk baru (Hardiman, 2009b: 14).
Oleh karena kebuntuan itulah, maka Habermas yang dikenal sebagai pembaharu Teori Kritis muncul, bukan saja dengan penilaian bahwa para pendahulunya memiliki kelemahan yang membawa ke jalan buntu itu, tetapi juga memberi seuah pemecahan mendasar yang sangat berguna untuk meneruskan proyek Teori Kritis dengan paradigma baru. Paradigma baru yang ditawarkan itu pun dilandaskan pada asumsi-asumsi tentang siapa itu manusia.
Komunikasi adalah titik tolak Habermas dan itu menjadi dasar dalam usaha mengatasi kebuntuan Teori Kritis para pendahulunya. Dalam pendekatannya itu, Habermas memandang manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki tindakan dasar yaitu praksis. Praksis inilah yang merupakan konsep sentral dalam tradisi filsafat kritis. Praksis dilandasi oleh kesadaran rasional. Habermas dalam studinya tentang pemikiran Hegel menilai bahwa Hegel sendiri memahami praksis bukan hanya sebagai “kerja”, tetapi juga “komunikasi”. Dalam pandangannya itu, karena praksis dilandasi kesadaran rasional, maka rasio tidak nampak dalam kegiatan manusia menaklukan alam lewat kerja saja, tetapi juga dalam interaksi intersubjektif yang menggunakan bahasa sehari-hari (Hardiman, 2009b: 14-15).

Secara logis, masyarakat komunikatif adalah tujuan universal masyarakat. Untuk menuju masyarakat komunikatif, maka individu-individu manusia adalah makhluk sosial yang juga memiliki sifat komunikatif. Sehingga boleh dikatakan bahwa manusia adalah makhluk komunikatif dalam perspektif Habermas. Pertanyaannya, apa dan bagaimana manusia menemukan hakekatnya sebagai makhluk komunikatif?
Manusia menjadi manusia ketika berhubungan dengan dunia sekitarnya. Dalam pendekatan teori kritis, cara manusia berhubungan dengan dunia sekitarnya terbagi dalam dua hal, yaitu dengan kerja dan komunikasi. Seperti yang disebutkan di atas, itulah yang disebut dengan praksis. Praksis itu dilandasi oleh rasio tertentu. Kerja dilandasi oleh rasio instrumental yang mengarahkan tindakan demi sasaran. Tindakan demi sasaran itu terbagi atas tindakan instrumental yang diarahkan pada upaya menguasai alam dan tindakan strategis yang diarahkan pada manusia. Komunikasi dilandasi oleh rasio komunikatif yang mengarahkan tindakan demi pemahaman. Habermas mengedepankan hakekat manusia sebagai subjek-subjek yang melakukan tindak komunikasi demi pemahaman.
Mekanismenya adalah lewat bahasa. Semua makhluk tentu saja memiliki kemampuan komunikasi pada level tertentu sehingga dapat dipahami oleh sesamanya, termasuk manusia. Oleh karena manusia adalah makhluk komunikatif, maka dengan sendiri ia adalah pencipta bahasa dan pencipta makna. Untuk dapat memahami diri, sesama dan lingkungannya, bukan saja dengan berpikir, tetapi sekaligus mengekspresikan apa yang dipikirkan itu ke dalam bahasa sehingga dapat diketahui oleh yang lain. Dalam situasi dan konteks apa pun, tindak wicara dalam bahasa adalah praksis manusia yang penting.
Ada pandangan-pandangan yang hendak dijembatani oleh Habermas terkait hakekat manusia dalam konteksnya masing-masing, yaitu konteks pemikiran Barat yang mengutamakan individualitas dengan konteks pemikiran Timur yang mengedepankan kolektivitas dalam pengertian komunitarian. Kedua pandangan yang saling bertolak belakang dalam menempatkan manusia itu dijembatani oleh pemikiran Habermas tentang praksis komunikasi. Tentu saja konteks pembicaraan Habermas adalah masyarakat modern yang plural dan beragam di mana di dalamnya individu-individu manusia terlibat.


Menurut Habermas, dalam liberalisme, individu-individu dibayangkan sebagai atom-atom dengan identitas universal yang lepas dari identitas budaya mereka. Individu lebih dilihat sebagai individu daripada sebagai anggota suatu kelompok. Di sisi lain, dalam pemikiran komunitarian, individu-individu dimengerti sebagai bagian dari suatu kelompok daripada sebagai individu itu sendiri. Kelompok begitu kuat, sementara individu tidak memiliki kemampuan lebih mengekspresikan dirinya. Untuk menjembatani perbedaan antara “individu liberal” dengan “individu komunitarian” itu, ia mengedepankan pendapatnya tentang “individu diskursif”. Baginya, individu diskursif meraih identitasnya tidak dari dirinya sendiri sebagaimana dalam konteks individu liberal dan juga tidak dari komunitasnya yang sudah ada sebagaimana individu komunitarian, melainkan dari suatu proses pembentukkan identitas baru yang dirancang bersama secara diskursif (Hardiman, 2007: 130-2).
Untuk memahami individu diskursif, maka mesti ada kedewasaan rasionalitas yang dapat dicapat dengan terus-menerus mengembangkan kemampuannya untuk memperoleh otonomi serta tanggung jawabnya terhadap empat bidang realitas. Dalam kajian Magnis-Suseno (2005: 169), keempat bidang realitas itu adalah: Alam luar atau obyektifitas, masyarakat atau normativitas, bahasa atau intersubjektifitas, dan alam batin atau subjektivitas. Dengan demikian, individu memperoleh kompetensi kognitif, interaktif dan berbahasa.
Dalam proses pembentukkan identitas baru, maka individu mesti belajar berbahasa secara kompeten dan diantar ke dalam pengertian dan pemakaian standar-standar rasional dalam berkomunikasi. Kompetensi berbahasa dalam rangka pembentukkan identitas baru itu mengisyaratkan empat klaim: Kebenaran (berhadapan dengan alam luar), kejelasan (berhadapan dengan tuntutan penggunaan bahasa), ketepatan (berhadapan dengan normativitas sosial), dan kejujuran (berhadapan dengan upaya mengungkapkan batin sendiri).

Individu diskursif hanya dapat berada dalam konteks dunia kehidupan. Habermas dalam pendekatan kritisnya membedakan antara dunia kehidupan dan sistem. Dunia kehidupan dalam pandangannya adalah cakrawala pengetahuan, konteks bersama, nilai, dan pelbagai norma yang tidak direfleksikan dan merupakan latar belakang pelbagai pemikiran manusia. Maka, dunia kehidupan adalah dasar dan latar belakang suatu tindakan komunikatif (Edgar, 2006: 89-91). Dalam bahasa Habermas, dunia kehidupan adalah konsep yang melengkapi konsep tindakan komunikatif (Habermas, 2007: 162-207).
Sedangkan sistem sendiri, menurut Habermas, adalah bidang administratif masyarakat modern, yang terutama dikendalikan oleh uang dan kekuasaan. Manusia modern yang semakin dikuasai oleh sistem (uang dan kekuasaan) kerap melupakan aspek-aspek makna dari kehidupannya. Jika dibiarkan, manusia akan menjadi tidak seimbang lagi. Seharusnya, nilai dan makna dari dunia kehidupanlah yang mempengaruhi perilaku sistem, namun kenyataannya justru berkebalikan. Gejala ini disebut Habermas sebagai penjajahan sistem terhadap dunia kehidupan (Edgar, 145-6).
Dalam kenyataan penjajahan sistem terhadap dunia kehidupan itulah, individu diskursif menjadi pendekatan yang ideal dalam mewujudkan masyarakat komunikatif. Identitas manusia adalah hasil rancangan bersama, tanpa penekanan makna. Setiap individu akan mendapatkan tempatnya yang sejajar dalam masyarakat komunikatif. Setiap individu dijamin semua hak diskursifnya. Dengan demikian, kemanusiaan baru yang saling menghargai diharapkan dapat menjadi dasar terciptanya situasi ideal itu.
Manusia dalam perspektif Habermas adalah gambaran yang ideal. Gambaran ideal manusia sebagai individu diskursif itu adalah dasar pembentuk masyarakat komunikatif sebagai cita-cita universal masyarakat. Individu diskursif menjadi gagasan Habermas tentang manusia untuk menjembatani pemikiran dalam budaya Barat yang memandang bahwa individu berada lebih dominan daripada kelompoknya dengan budaya Timur yang memandang bahwa kelompok adalah yang lebih dominan daripada individu.
Dalam konteks Indonesia yang lekat dengan budaya Timur, jelas bahwa manusia sebagai individu sangat lekat dengan komunitasnya. Segala hal menyangkut dirinya sangat ditentukan oleh masyarakat. Makna dan identitas individu sekaligus menjadi gambaran identitas kelompok. Kenyataan itu membuat dominasi-dominasi tertentu yang dilegitimasi oleh budaya. Dengan dominasi itu, ada yang terpinggirkan dan tersubordinasi. Segala macam dominasi disebabkan karena ada sistem dalam pengertian tradisional yang menjadi patokan hidup bersama. Ideal manusia menurut Habermas itu menggambarkan kebutuhan akan adanya pemahaman baru tentang kemanusiaan manusia. Kebutuhan itu lahir karena sistem pasar dan negara yang telah menguasai dunia kehidupan biasa dan membuat semua tindakan baik instrumental, untuk menguasai alam, maupun strategis untuk menguasai manusia didasarkan pada rasio instrumental. Individu diskursif didasarkan pada rasio komunikatif di mana pembentukkan identitas adalah tindakan demi pemahaman bersama. Oleh karena itu, praksis manusia bukan saja tentang kerja, tetapi juga tentang komunikasi.
Akhirnya, harus disadari oleh penulis bahwa untuk mengambil jarak dan memikirkan tentang diri sendiri sebagai manusia adalah hal yang cukup sulit. Hal itu disebabkan karena selama ini yang dilakukan adalah berdistansi atau berjarak dari alam dan lingkungan serta sesama. Distansi dari diri sendiri hanya ada dalam penghayatan dan refleksi, bukan dalam deskripsi. Namun itulah filsafat, dunia yang dihayati itu mesti dideskripsikan, walaupun dengan keterbatasan juga. Pandangan Habermas yang ideal tentang individu diskursif ini menunjukkan gagasannya yang besar tentang suatu masyarakat komunikatif yang dapat mengatasi segala kenyataan pluralitas ini. Mengatasinya bukan dengan cara menyeragamkan, tetapi dengan memberikan ruang kepada semua suara yang plural itu untuk mendapatkan tempatnya dan bisa bersuara.

KEPRIBADIAN SEHAT MENURUT ROGER , MASLOW , DAN FROMM

Kepribadian sehat menurut ROGERS , MASLOW , dan FROMM

Menurut Rogers , Rogers adalah pelopor di dalam penyelidikan di bidang counseling dan psikoterapi, dan memberikan banyak dorongan kea rah penyelidikan mengenai sifat-sifat dari proses yang terjadi selama perawatan klinis . Semenjak perumusan teori self itu Rogers memperluas research yang meliputi pula macam – macam kesimpulan – kesimpulan dan teori kepribadiannya .
Metode – metode yang dikeluarkan Rogers meliputi :
1. Positive approval self-reference
2. Negative or disapproval self reference
3. Ambivalent self-reference
4. Ambiguous self-reference
5. Reference to external object and persons, and questions

Dalam penyelidikan Rainy itu pikiran pokoknya dalah demikian . Selama terapi (counseling) maka ada perubahan self-reference itu . Biasanya disapproval atau ambivalent menuju kearah approval .
Sebelum memulai counseling pasien disuruh memilih mengatur kartu yang berisi pernyataan itu dalam 2 cara yaitu :
1. Self-sort :Aturlah kartu – kartu untuk menggambar dirimu sendiri sebagaimana kau lihat hari ini dari yang paling tidak mirip dengan kamu sampai yang paling mirip dengan kamu .

2. Ideal-sort :Sekarang aturlah kartu-kartu itu untuk menggambarkan orang yang kamu cita- citakan , orang yang ingin kamu tiru , kamu ingin seperti dia .


Pokok-pokok teori kepribadian sehat menurut Rogers :

Konsepsi – konsepsi pokok dalam teori Rogers adalah

1. Organism , yaitu keseluruhan individu ( the total individual )

(a) . Organisme bereaksi sebagai keseluruhan terhadap medan phenomenal dengan maksud memenuhi kebutuhan-kebutuhannya .

(b) . Organisme mempunyai satu motif dasar yaitu : mengaktualisasikan dan mengembangkan diri .

2. Medan phenomenal , yaitu keseluruhan pengalaman ( the totality of experience ) , yang
memiliki sifat disadari atau tak disadari tergantung apakah pengalaman yang mendasari
medan phenomenal itu dilambangkan atau tidak .

3. Self , yaitu bagian dari medan phenomenal yang terdiferensiasikan dan terdiri dari pola – pola
Penagamatan dan penilaian sadar daripada “I” atau “me” . Self mempunyai macam – macam s
Sifat yaitu :

(a) . Self berkembang dari interaksi organism dengan lingkungannya .
(b) . Self mungkin menginteraksikan nilai-nilai orang lain dan mengamatatinya dalam cara bentuk yang tidak wajar .
(c) . Self mengejar ( menginginkan ) consistency ( keutuhan / kesatuan, keselarasan )
(d) . Organism bertingkah laku dalam cara yang selaras (consistent) dengan self .
(e) . Pengalaman – pengalaman yang tak selaras dengan struktur self diamati sebagai
ancaman .
(f) . Self mungkin berubah sebagai hasil dari pematangan (maturation) dan belajar .

Menurut Rogers “ jalan yang paling baik untuk memahami tingkah laku ialah dengan melalui internal frame of reference orangnya sendiri “ . Rogers berpendapat bahwa self-report tidak memberikan gambaran yang lengkap mengenai kepribadian karena :

1. Orang mungkin sadar akan kesalahan tingkah laku akan tetapi tak dapat menyatakannya dalam kata – kata .
2. Orang mungkin tidak menyadarinya .
3. Orang mungkin menyadari pengalamannya dan dapat menyatakannya , tetapi dia tidak mau berbuat demikian . Apabila dipaksakan member jawaban dia mungkin memperdayakan .
Menurut Maslow kepribadian sehat adalah berdasarkan tingkat kebutuhannya yaitu :
1. Kebutuhan fisiologis: kebutuhan yang dasariah, misalnya rasa lapar, haus, tempat berteduh, seks, tidur, oksigen, dan kebutuhan jasmani lainnya. Kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan manusia yang paling mendasar untuk mempertahankan hidupnya secara fisik, yaitu kebutuhan akan makanan, minuman, tempat tinggal, seks, tidur, istirahat, dan udara. Seseorang yang mengalami kekurangan makanan, harga diri, dan cinta, pertama-tama akan mencari makanan terlebih dahulu. Bagi orang yang berada dalam keadaan lapar berat dan membahayakan, tak ada minat lain kecuali makanan. Bagi masyarakat sejahtera jenis-jenis kebutuhan ini umumnya telah terpenuhi. Ketika kebutuhan dasar ini terpuaskan, dengan segera kebutuhan-kebutuhan lain (yang lebih tinggi tingkatnya) akan muncul dan mendominasi perilaku manusia.

2. Kebutuhan akan rasa aman: mencakup antara lain keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan emosional. Kebutuhan ini menampilkan diri dalam kategori kebutuhan akan kemantapan, perlindungan, kebebasan dari rasa takut, cemas dan kekalutan; kebutuhan akan struktur, ketertiban, hukum, batas-batas, dan sebagainya. Kebutuhan ini dapat kita amati pada seorang anak. Biasanya seorang anak membutuhkan suatu dunia atau lingkungan yang dapat diramalkan. Seorang anak menyukai konsistensi dan kerutinan sampai batas-batas tertentu. Jika hal-hal itu tidak ditemukan maka ia akan menjadi cemas dan merasa tidak aman. Orang yang merasa tidak aman memiliki kebutuhan akan keteraturan dan stabilitas serta akan berusaha keras menghindari hal-hal yang bersifat asing dan tidak diharapkan.

3. Kebutuhan sosial: mencakup kebutuhan akan rasa memiliki dan dimiliki, kasih sayang, diterima-baik, dan persahabatan. Pada tingkat kebutuhan ini, dan belum pernah sebelumnya, orang akan sangat merasakan tiadanya sahabat, kekasih, isteri, suami, atau anak-anak. Ia haus akan relasi yang penuh arti dan penuh kasih dengan orang lain pada umumnya. Ia membutuhkan terutama tempat (peranan) di tengah kelompok atau lingkungannya, dan akan berusaha keras untuk mencapai dan mempertahankannya. Orang di posisi kebutuhan ini bahkan mungkin telah lupa bahwa tatkala masih memuaskan kebutuhan akan makanan, ia pernah meremehkan cinta sebagai hal yang tidak nyata, tidak perlu, dan tidak penting. Sekarang ia akan sangat merasakan perihnya rasa kesepian itu, pengucilan sosial, penolakan, tiadanya keramahan, dan keadaan yang tak menentu.

4. Kebutuhan akan penghargaan: mencakup faktor penghormatan internal seperti harga diri, otonomi, dan prestasi; serta faktor eksternal seperti status, pengakuan, dan perhatian. Yang pertama (internal) mencakup kebutuhan akan harga diri, kepercayaan diri, kompetensi, penguasaan, kecukupan, prestasi, ketidaktergantungan, dan kebebasan (kemerdekaan). Yang kedua (eksternal) menyangkut penghargaan dari orang lain, prestise, pengakuan, penerimaan, ketenaran, martabat, perhatian, kedudukan, apresiasi atau nama baik. Orang yang memiliki cukup harga diri akan lebih percaya diri. Dengan demikian ia akan lebih berpotensi dan produktif. Sebaliknya harga diri yang kurang akan menyebabkan rasa rendah diri, rasa tidak berdaya, bahkan rasa putus asa serta perilaku yang neurotik. Kebebasan atau kemerdekaan pada tingkat kebutuhan ini adalah kebutuhan akan rasa ketidakterikatan oleh hal-hal yang menghambat perwujudan diri. Kebutuhan ini tidak bisa ditukar dengan sebungkus nasi goreng atau sejumlah uang karena kebutuhan akan hal-hal itu telah terpuaskan.

5. Kebutuhan akan aktualisasi diri: mencakup hasrat untuk makin menjadi diri sepenuh
kemampuannya sendiri, menjadi apa saja menurut kemampuannya. Menurut Maslow, setiap orang harus berkembang sepenuh kemampuannya. Kebutuhan manusia untuk bertumbuh, berkembang, dan menggunakan kemampuannya disebut Maslow sebagai aktualisasi diri. Maslow juga menyebut aktualisasi diri sebagai hasrat untuk makin menjadi diri sepenuh kemampuan sendiri, menjadi apa menurut kemampuan yang dimiliki. Kebutuhan akan aktualisasi diri ini biasanya muncul setelah kebutuhan akan cinta dan akan penghargaan terpuaskan secara memadai. Kebutuhan akan aktualisasi diri ini merupakan aspek terpenting dalam teori motivasi Maslow. Dewasa ini bahkan sejumlah pemikir menjadikan kebutuhan ini sebagai titik tolak prioritas untuk membina manusia berkepribadian unggul. Belakangan ini muncul gagasan tentang perlunya jembatan antara kemampuan majanerial secara ekonomis dengan kedalaman spiritual. Manajer yang diharapkan adalah pemimpin yang handal tanpa melupakan sisi kerohanian.


Kepribadian sehat menurut Eric Fromm adalah teori yang menggunakan pendekatan sosial psikologis dimana pemusatan perhatianya pada penguraian cara-cara dimana struktur dan dinamika-dinamika masyarakat tertentu membentuk para anggotanya sehingga karakter para anggota tersebut sesuai dengan nilai yang ada pada masyarakat . Karena pada dasarnya manusia terpisah dari alam dan dari sesamanya maka cara mempersatukan adalah melalui belajar bagaimana mencitai atau bagaimana meemukan keamanan dengan menyelaraskan keinginannya dengan masyarakat yang otoriter , karna manusia adalah mahluk yang memiliki kesadran pikiran akal sehat daya akal, kesanggupan untuk mencintai , perhatian tanggung jawab integritas bisa di lukai mengalami kesedihan sehingga apbila dalam kaitanya manusia kurang dalam menanggapi hal yang di sebutkan tersebut maka manusia tersebut bisa di katakan tidak sehat secara mental menurut Eric fromm .
Kebutuhan dasar manusia menurut eric fromm :
1. Kebutuhan akan keberhubungan kebutuhan ini adalah secara spesifik aktif dan produktif mencintai orang lain .
2. Kebutuhan akan trandensi mengungguli alam menjadi mahluk yang kreatif Kebutuhan akan kemantapan ingin meiliki rasa bersahaja pada dunia dan orang lain supaya dapat beradaptasi di dunia .
3. Kebutuhan akan idenditas brusaha untuk memiliki rasa idenditas personal dan keunikan guna menciptakan rasa yang terlepas dari dunia.
4. Kebutuhan akan kerangka orientasi untukmencptakan rasa yang terlepas dari dunia. Hal kebutuhan tersebut adalah sifat alamiah dari manusia menurut fromm dan ini berubah saat evolusi namun manivestasi dari kebutuhan ini adalah akan memunculkan potensi-potensi batiniah di tentukan oleh aturan-aturan sosial di mana ia hidup dan kepribadian seseorang berkembang menurut kesempatan-kesempatan yang di berikan kepadanya oleh masyarakat tertentu .


Sehingga kepribadian sehat menurut Eric from adalah penyesuaian diri seseorang dalam masyarakat merupakan kompromi antara kebutuhan-kebutuahn batin dan tuntutan dari luar dan seseorang menerapkan kerakter sosial untuk memenuhi harapan masyarakat kepribadian sehat juga adanya keinginan untuk mencintai dan di cintai .

DAFTAR PUSTAKA :
Psikologi kepribadian Penulis: Agus Sujanto; Penerbit: Bumi Aksara
Psikologi Kepribadian, Penulis: Sumadi Suryabrata, Penerbit: Rajawali Pers


HASNI YULIANTI
13509664

Selasa, 01 Maret 2011

SEJARAH KESEHTAN MENTAL DAN CONTOHNYA

SEJARAH KESEHATAN MENTAL

Setelah Perang Dunia II, perhatian masyarakat mengenai kesehatan jiwa semakin bertambah. Kesehatan mental bukan suatu hal yang baru bagi peradaban manusia. Pepatah Yunani tentang mens sana in confore sano merupakan satu indikasi bahwa masyarakat di zaman sebelum masehi pun sudah memperhatikan betapa pentingnya aspek kesehatan mental.
Yang tercatat dalam sejarah ilmu, khususnya di bidang kesehatan mental, kita dapat memahami bahwa gangguan mental itu telah terjadi sejak awal peradaban manusia dan sekaligus telah ada upaya-upaya mengatasinya sejalan dengan peradaban. Untuk lebih lanjutnya, berikut dikemukakan secara singkat tentang sejarah perkembangan kesehatan mental.
Sejarah Perkembangan Kesehatan Mental
Seperti juga psikologi yang mempelajari hidup kejiwaan manusia, dan memiliki usia sejak adanya manusia di dunia, maka masalah kesehatan jiwa itupun telah ada sejak beribu-ribu tahun yang lalu dalam bentuk pengetahuan yang sederhana.
Beratus-ratus tahun yang lalu orang menduga bahwa penyebab penyakit mental adalah syaitan-syaitan, roh-roh jahat dan dosa-dosa. Oleh karena itu para penderita penyakit mental dimasukkan dalam penjara-penjara di bawah tanah atau dihukum dan diikat erat-erat dengan rantai besi yang berat dan kuat. Namun, lambat laun ada usaha-usaha kemanusiaan yang mengadakan perbaikan dalam menanggulangi orang-orang yang terganggu mentalnya ini. Philippe Pinel di Perancis dan William Tuke dari Inggris adalah salah satu contoh orang yang berjasa dalam mengatasi dan menanggulangi orang-orang yang terkena penyakit mental. Masa-masa Pinel dan Tuke ini selanjutnya dikenal dengan masa pra ilmiah karena hanya usaha dan praksis yang mereka lakukan tanpa adanya teori-teori yang dikemukakan
Masa selanjutnya adalah masa ilmiah, dimana tidak hanya praksis yang dilakukan tetapi berbagai teori mengenai kesehatan mental dikemukakan. Masa ini berkembang seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan alam di Eropa.
Dorothea Dix merupakan seorang pionir wanita dalam usaha-usaha kemanusiaan berasal dari Amerika. Ia berusaha menyembuhkan dan memelihara para penderita penyakit mental dan orang-orang gila. Sangat banyak jasanya dalam memperluas dan memperbaiki kondisi dari 32 rumah sakit jiwa di seluruh negara Amerika bahkan sampai ke Eropa. Atas jasa-jasa besarnya inilah Dix dapat disebut sebagai tokoh besar pada abad ke-19.
Tokoh lain yang banyak pula memberikan jasanya pada ranah kesehatan mental adalah Clifford Whittingham Beers (1876-1943). Beers pernah sakit mental dan dirawat selama dua tahun dalam beberapa rumah sakit jiwa. Ia mengalami sendiri betapa kejam dan kerasnya perlakuan serta cara penyembuhan atau pengobatan dalam asylum-asylum tersebut. Sering ia didera dengan pukulan-pukulan dan jotosan-jotosan, dan menerima hinaan-hinaan yang menyakitkan hati dari perawat-perawat yang kejam. Dan banyak lagi perlakuan-perlakuan kejam yang tidak berperi kemanusiaan dialaminya dalam rumah sakit jiwa tersebut. Setelah dirawat selama dua tahun, beruntung Beers bisa sembuh.

Di dalam bukunya ”A Mind That Found Itself”, Beers tidak hanya melontarkan tuduhan-tuduhan terhadap tindakan-tindakan kejam dan tidak berperi kemanusiaan dalam asylum-asylum tadi, tapi juga menyarankan program-program perbaikan yang definitif pada cara pemeliharaan dan cara penyembuhannya. Pengalaman pribadinya itu meyakinkan Beers bahwa penyakit mental itu dapat dicegah dan pada banyak peristiwa dapat disembuhkan pula. Oleh keyakinan ini ia kemudian menyusun satu program nasional, yang berisikan:
1. Perbaikan dalam metode pemeliharaan dan penyembuhan para penderita mental.
2. Kampanye memberikan informasi-informasi agar orang mau bersikap lebih inteligen dan lebih human atau berperikemanusiaan terhadap para penderita penyakit emosi dan mental.
3. Memperbanyak riset untuk menyelidiki sebab-musabab timbulnya penyakit mental dan mengembangkan terapi penyembuhannya.
4. Memperbesar usaha-usaha edukatif dan penerangan guna mencegah timbulnya penyakit mental dan gangguan-gangguan emosi.

William James dan Adolf Meyer, para psikolog besar, sangat terkesan oleh uraian Beers tersebut. Maka akhirnya Adolf Meyer-lah yang menyarankan agar ”Mental Hygiene” dipopulerkan sebagai satu gerakan kemanusiaan yang baru. Dan pada tahun 1908 terbentuklah organisasi Connectitude Society for Mental Hygiene. Lalu pada tahun 1909 berdirilah The National Committee for Mental Hygiene, dimana Beers sendiri duduk di dalamnya hingga akhir hayatnya
Dasar dan Tujuan Mempelajari Kesehatan Mental
Kesanggupan seseorang untuk hidup rela dan gembira bergantung pada sejauh mana ia menikmati kesehatan mental. Kesehatan mental yang wajar adalah yang sanggup menikmati hidup ini, rela kepadanya, menerimanya dan sanggup membentuknya sesuai dengan kehendaknya.

Pemahaman terhadap kesehatan mental yang wajar memestikan akan pengetahuan tentang konsep dasar kesehatan mental, seperti yang telah dijelaskan oleh para psikolog, yaitu motivasi (motivation), pertarungan psikologikal (psychologgical conflict), kerisauan (anciety), dan cara membela diri .
Motivasi adalah keadaan psikologis yang merangsang dan memberi arah terhadap aktivitas manusia. Dialah kekuatan yang menggerakkan dan mendorong aktivitas seseorang. Motivasi dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu motivasi primer (biologis) yang mempunyai kaitan dengan dengan proses organik atau yang timbul dari kekurangan atau kelebihan pada sesuatu yang berkaitan dengan struktur organik manusia. Kedua, motivasi sekunder (psikologi) yang jelas tidak ada kaitannya dengan organ-organ manusia.

Pertarungan psikologis adalah terdedahnya (tercegahnya) seseorang kepada kekuatan-kekuatan yang sama besarnya yang mendorongnya kepada berbagai hal dimana ia tidak sanggup memilih salah satu hal tersebut.
Kerisauan, secara umum, adalah pengalaman emosional yang tidak menggembirakan yang dialami seseorang ketika merasa takut atau terancam sesuatu yang tidak dapat ditentukannya dengan jelas. Biasanya keadaan ini disertai perubahan keadaan fisiologis, seperti cepatnya debaran jantung, hilang selera makan, rasa sesak nafas, dan lain sebagainya.
Cara membela diri merupakan cara yang dibuat dan dilakukan oleh seseorang secara tidak sadar untuk menghindarkan dirinya menghadapi pergolakan kerisauan yang dihadapi dan kekuatan-kekuatan yang bertarung dengan nilai-nilai, sikap dan tuntutan masyarakat.

Mempelajari kesehatan pada berbagai ilmu itu pada prinsipnya bertujuan sebagai berikut:
1. Memahami makna kesehatan mental dan faktor-faktor penyebabnya.
2. Memahami pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penanganan kesehatan mental.
3. Memiliki kemampuan dasar dalam usaha peningkatan dan pencegahan kesehatan mental masayarakat.
4. Meningkatkan kesehatan mental masyarakat dan mengurangi timbulnya gangguan mental masyarakat


1 . PENDAHULUAN
Kesehatan Mental
Kesehatan mental merupakan keinginan wajar bagi setiap manusia seutuhnya, tapi
tidaklah mudah mendapatkan kesehatan jiwa seperti itu. Perlu pembelajaran tingkah laku,
pencegahan yang dimulai secara dini untuk mendapatkan hasil yang dituju oleh manusia.
Untuk menelusurinya diperlukan keterbukaan psikis manusia ataupun suatu penelitian secara langsung atau tidak langsung pada manusia yang menderita gangguan jiwa Pada dasarnya untuk mencapai manusia dalam segala hal diperlukan psikis yang sehat.Sehingga dapat berjalan menurut tujuan manusia itu diciptakan secara normal.

2 . PERMASALAHAN
Sampai sejauh mana manusia digerogoti gangguan jiwa dan bagaimana manusia itu melakukan proses penanganan.


3. PEMBAHASAN

A. Pengertian Kesehatan Mental

Istilah kesehatan mental diambil dari konsep mental hygiene. Kata mental diambil dari bahasa Yunani, pengertiannya sama dengan psyche dalam bahas latin yang artinya psikis, jiwa atau kejiwaan.
Kesehatan mental merupakan bagian dari psikologi agama, terus berkembang dengan pesat. Hal ini tidak terlepas dari kondisi masyarakat yang membutuhkan jawaban atas berbagai permasalahan yang melingkupinya.
B. Dimensi Psikologis Kesehatan Mental
Aspek psikis manusia pada dasarnya merupakan satu kesatuan dengan sistem biologis,
sebagai sub sistem dari eksistensi manusia, maka aspek psikis selalu berinteraksi dengan
keseluruhan aspek kemanusiaan. Karena itulah aspek psikis tidak dapat dipisahkan untuk
melihat sisi jiwa manusia . Ada beberapa aspek psikis yang turut berpengaruh terhadap kesehatan mental, antara lain :
1. Pengalaman awal
Pengalaman awal merupakan segenap pengalaman-pengalaman yang terjadi pada
individu terutama yang terjadi di masa lalunya. Pengalaman awal ini adalah merupakan
bagian penting dan bahkan sangat menentukan bagi kondisi mental individu di kemudian
hari.
2. kebutuhan
Pemenuhan kebutuhan dapat meningkatkan kesehatan mental seseorang. Orang yang telah mencapai kebutuhan aktualisasi yaitu orang yang mengeksploitasi dan segenap kemampuan bakat, ketrampilannya sepenuhnya, akan mencapai tingkatan apa yang disebut dengan tingkatan pengalaman puncak.
Dalam berbagai penelitian ditemukan bahwa orang-orang yang mengalami gangguan mental, disebabkan oleh ketidakmampuan individu memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Kebutuhan yang dimaksud di sini adalah kebutuhan dasar yang tersusun secara hirarki. Kebutuhan biologis, kebutuhan rasa aman, meliputi kebutuhan dicintai, kebutuhan harga diri, pengetahuan, keindahan dan kebutuhan aktualisasi diri.

C. Gangguan dan Penyakit Jiwa

1. Psikosomatik
Adalah penderita yang menemukan kelainan-kelainan atau keluhan. Pada tubuhnya yang disebabkan oleh faktor-faktor emosional melalui syarat yang menimbulkan perubahan yang tidak mudah pulihnya, misalnya : sulit tidur jika banyak masalah, hilang nafsu makan, makan berlebihan.
2. Kelainan kepribadian
Penderita sulit untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial. Misalnya orang suka meledak emosinya
.
3. Retardasi mental
Adalah keterbelakangan atau keterlambatan perkembangan jiwa seseorang.
Contoh dalam memahami sesuatu ilmu pengetahuan yang baru di dapat atau kata-katabaru, cara pemahamannya terlalu lama.

4. Rasionalisasi
Dimana penderita sering memutarbalikkan fakta yang bersangkutan dengan ego
individunya sendiri atau dalam arti lain memutarbalikkan hati nuraninya sendiri yang mengakibatkan kepercayaan diri hilang.

5. Neurosis
Adalah gangguan jiwa yang penderitanya masih dalam keadaan sadar, dengan melalui ketidakberesan tingkah laku, susunan syaraf juga karena sikap seseorang terhadap orang .
Ciri-ciri neurosis meliputi : sering adanya konflik, reaksi kecemasan, kerusakan aspek-
aspek kepribadian, phobia, gangguan pencernaan.
Seseorang yang terkena neurosis mengetahui bahwasanya bahwa jiwanya terganggu, baik disebabkan gangguan jasmani dan jiwanya sendiri.

6. Psikosis
Pada psikosis ini penderita sudah tidak dapat menyadari apa penyakitnya, karena sudahmenyerang seluruh keadaan netral jiwanya.
Ciri-cirinya meliputi :
v Disorganisasi proses pemikiran
v Gangguan emosional
v Disorientasi waktu, ruang
v Sering atau terus berhalusinasi


D. Terapi Gangguan Jiwa

Terapi di sini mengandung arti proses penyembuhan dan pemulihan jiwa yang benar- benar sehat. Di antaranya terapi-terapi yang digunakan meliputi beberapa bentuk :

a. Terapi holistic, yaitu terapi yang tidak hanya menggunakan obat dan ditujukan kepada gangguan jiwanya saja, dalam arti lain terapi ini mengobati pasien secara menyeluruh
b. Psikoterapi keagamaan, yaitu terapi yang diberikan dengan kembali mempelajari dan mengamalkan ajaran agama
c. Farmakoterapi, yaitu terapi dengan menggunakan obat. Terapi ini biasanya diberikan oleh dokter dengan memberikan resep obat pada pasien.
d. Terapi perilaku, yaitu terapi yang dimaksudkan agar pasien berubah baik sikap maupun perilakunya terhadap obyek atau situasi yang menakutkan. Secara bertahap pasien dibimbing dan dilatih untuk menghadapi berbagai objek atau situasi yang menimbulkan rasa panik dan takut. Sebelum melakukan terapi ini diberikan psikoterapi untuk memperkuat kepercayaan diri.

KESIMPULAN
Kesehatan mental merupakan faktor terpenting untuk menjalankan kehidupan manusia secara normal. Psikis manusia jika tidak dijaga akan menimbulkan suatu gangguan jiwa yang lambat laun dibiarkan akan menjadi suatu beban yang berat bagi penderitanya. Diantara gangguan psikis meliputi psikosomatik, kelainan kepribadian, retardasi mental,rasionalisasi, neurosis, dan psikosis, yang dari gangguan jiwa itu disebabkan karena ada faktor yang mempengaruhinya meliputi pengalaman awal, proses pembelajaran, dan kebutuhan. Dengan adanya gangguan jiwa karena pengaruh tersebut dibutuhkan terapi penyembuhan sampai manusia dinyatakan benar-benar sehat baik jasmani maupun psikisnya.

Dr. Kartini Kartono, Hygiene Mental dan Kesehatan Mental dalam Islam, Bandung: CV. Mandar Maju, 1989,
Dr. Kartini Kartono, Hygiene Mental…
Hasan Langgulung, Teori-Teori Kesehatan Mental, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986, hal. 50-76.
Moeljono Notosoedirdjo, Kesehatan Mental; Konsep dan Penerapan, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2002, hal. 14.

hasni yulianti
2pa03
13509664