Sabtu, 05 Maret 2011

tokoh filsafat manusia dan pandangannya tentang manusia

MANUSIA SEBAGAI INDIVIDU DISKURSIF: Manusia dalam Pemikiran Filsafat Jürgen Habermas

Setiap masa mempunyai caranya sendiri untuk menempatkan manusia dan masyarakatnya dalam jalur-jalur yang tepat. Setiap perubahan yang terjadi selalu dimulai dari kenyataan bahwa cara-cara yang lama sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Zaman berubah, maka manusia pun berubah. Tidak pernah ada suatu hal pun yang statis dan tetap serta tidak berubah. Kalaupun ada, mesti dipertanyakan lagi pandangan seperti itu.
Oleh karena perubahan-perubahan yang terjadi dan mengisyaratkan perubahan manusia juga, maka pemikiran-pemikiran baru yang sesuai dengan masanya tentang hakekat manusia pun dibutuhkan. Dalam kerangka itu, penulis memilih pemikiran Jürgen Habermas tentang manusia sebagai topik kajian dalam makalah tentang Filsafat Manusia ini. Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa pemikiran filsuf siapa pun, tentang apa pun selalu dimulai dengan pandangannya tentang apa dan siapa itu manusia, maka Penulis meyakini bahwa Habermas pun demikian adanya. Ia memulai gagasan-gagasannya yang sampai saat ini belum selesai dengan apa dan siapa itu manusia dalam konteksnya yang lebih luas. Dalam makalah ini, Penulis mengedepankan gagasan Habermas tentang manusia sebagai individu diskursif. Gagasan inilah yang mendasari pemikiran Habermas tentang masyarakat komunikatif di mana ruang diskursif menjadi tempat bagi manusia untuk berada secara ideal. Upaya penemuan gagasan Habermas tentang individu diskursif tentu membutuhkan bacaan yang kritis dan hati-hati terhadap karya-karya Habermas.
Oleh karena keterbatasan Penulis, maka beberapa literatur utama yang digunakan oleh Penulis adalah literatur yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Selain itu, sumber-sumber sekunder yang digunakan juga adalah tulisan-tulisan tentang pemikiran Habermas oleh orang Indonesia, dalam konteks Indonesia.




Untuk membicarakan tentang pemikiran Habermas, maka titik tolak pemikirannya adalah cita-cita yang dirumuskan oleh Max Horkheimer untuk mengembangkan sebuah teori masyarakat yang kritis, sebagai kritik demi praksis perubahan sosial. Teori kritis yang dimaksud adalah teori kritis yang bertujuan untuk menelusuri sejarah penderitaan manusia sebagai sejarah penindasan dan dengan membukanya pada praktek emansipatif. Cita-cita ini berujung pada pembebasan yang mengembalikan hubungan antar-manusia yang tidak lagi ditentukan oleh mekanisme-mekanisme sistem pasar, melainkan sesuai dengan cita-cita manusia sendiri (Franz Magnis-Suseno, 2005: 161).

Namun dalam perkembangannya, cita-cita yang baik dari para pemikir teori kritis yang tergabung dalam Mazhab Frankfurt itu tidak berjalan sebagaimana yang diinginkan. Para pemikir Mazhab Frankfurt periode pertama bahkan tiba pada kebuntuan dalam membahas gagasan yang dapat diandalkan dalam mewujudkan cita-cita itu. Kebuntuan itu terutama muncul dalam apa yang disebut sebagai dialektika pencerahan, bahwa Teori Kritis yang dilandasi rasio kritis itu sendiri bisa berubah menjadi mitos atau ideologi dalam bentuk baru (Hardiman, 2009b: 14).
Oleh karena kebuntuan itulah, maka Habermas yang dikenal sebagai pembaharu Teori Kritis muncul, bukan saja dengan penilaian bahwa para pendahulunya memiliki kelemahan yang membawa ke jalan buntu itu, tetapi juga memberi seuah pemecahan mendasar yang sangat berguna untuk meneruskan proyek Teori Kritis dengan paradigma baru. Paradigma baru yang ditawarkan itu pun dilandaskan pada asumsi-asumsi tentang siapa itu manusia.
Komunikasi adalah titik tolak Habermas dan itu menjadi dasar dalam usaha mengatasi kebuntuan Teori Kritis para pendahulunya. Dalam pendekatannya itu, Habermas memandang manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki tindakan dasar yaitu praksis. Praksis inilah yang merupakan konsep sentral dalam tradisi filsafat kritis. Praksis dilandasi oleh kesadaran rasional. Habermas dalam studinya tentang pemikiran Hegel menilai bahwa Hegel sendiri memahami praksis bukan hanya sebagai “kerja”, tetapi juga “komunikasi”. Dalam pandangannya itu, karena praksis dilandasi kesadaran rasional, maka rasio tidak nampak dalam kegiatan manusia menaklukan alam lewat kerja saja, tetapi juga dalam interaksi intersubjektif yang menggunakan bahasa sehari-hari (Hardiman, 2009b: 14-15).

Secara logis, masyarakat komunikatif adalah tujuan universal masyarakat. Untuk menuju masyarakat komunikatif, maka individu-individu manusia adalah makhluk sosial yang juga memiliki sifat komunikatif. Sehingga boleh dikatakan bahwa manusia adalah makhluk komunikatif dalam perspektif Habermas. Pertanyaannya, apa dan bagaimana manusia menemukan hakekatnya sebagai makhluk komunikatif?
Manusia menjadi manusia ketika berhubungan dengan dunia sekitarnya. Dalam pendekatan teori kritis, cara manusia berhubungan dengan dunia sekitarnya terbagi dalam dua hal, yaitu dengan kerja dan komunikasi. Seperti yang disebutkan di atas, itulah yang disebut dengan praksis. Praksis itu dilandasi oleh rasio tertentu. Kerja dilandasi oleh rasio instrumental yang mengarahkan tindakan demi sasaran. Tindakan demi sasaran itu terbagi atas tindakan instrumental yang diarahkan pada upaya menguasai alam dan tindakan strategis yang diarahkan pada manusia. Komunikasi dilandasi oleh rasio komunikatif yang mengarahkan tindakan demi pemahaman. Habermas mengedepankan hakekat manusia sebagai subjek-subjek yang melakukan tindak komunikasi demi pemahaman.
Mekanismenya adalah lewat bahasa. Semua makhluk tentu saja memiliki kemampuan komunikasi pada level tertentu sehingga dapat dipahami oleh sesamanya, termasuk manusia. Oleh karena manusia adalah makhluk komunikatif, maka dengan sendiri ia adalah pencipta bahasa dan pencipta makna. Untuk dapat memahami diri, sesama dan lingkungannya, bukan saja dengan berpikir, tetapi sekaligus mengekspresikan apa yang dipikirkan itu ke dalam bahasa sehingga dapat diketahui oleh yang lain. Dalam situasi dan konteks apa pun, tindak wicara dalam bahasa adalah praksis manusia yang penting.
Ada pandangan-pandangan yang hendak dijembatani oleh Habermas terkait hakekat manusia dalam konteksnya masing-masing, yaitu konteks pemikiran Barat yang mengutamakan individualitas dengan konteks pemikiran Timur yang mengedepankan kolektivitas dalam pengertian komunitarian. Kedua pandangan yang saling bertolak belakang dalam menempatkan manusia itu dijembatani oleh pemikiran Habermas tentang praksis komunikasi. Tentu saja konteks pembicaraan Habermas adalah masyarakat modern yang plural dan beragam di mana di dalamnya individu-individu manusia terlibat.


Menurut Habermas, dalam liberalisme, individu-individu dibayangkan sebagai atom-atom dengan identitas universal yang lepas dari identitas budaya mereka. Individu lebih dilihat sebagai individu daripada sebagai anggota suatu kelompok. Di sisi lain, dalam pemikiran komunitarian, individu-individu dimengerti sebagai bagian dari suatu kelompok daripada sebagai individu itu sendiri. Kelompok begitu kuat, sementara individu tidak memiliki kemampuan lebih mengekspresikan dirinya. Untuk menjembatani perbedaan antara “individu liberal” dengan “individu komunitarian” itu, ia mengedepankan pendapatnya tentang “individu diskursif”. Baginya, individu diskursif meraih identitasnya tidak dari dirinya sendiri sebagaimana dalam konteks individu liberal dan juga tidak dari komunitasnya yang sudah ada sebagaimana individu komunitarian, melainkan dari suatu proses pembentukkan identitas baru yang dirancang bersama secara diskursif (Hardiman, 2007: 130-2).
Untuk memahami individu diskursif, maka mesti ada kedewasaan rasionalitas yang dapat dicapat dengan terus-menerus mengembangkan kemampuannya untuk memperoleh otonomi serta tanggung jawabnya terhadap empat bidang realitas. Dalam kajian Magnis-Suseno (2005: 169), keempat bidang realitas itu adalah: Alam luar atau obyektifitas, masyarakat atau normativitas, bahasa atau intersubjektifitas, dan alam batin atau subjektivitas. Dengan demikian, individu memperoleh kompetensi kognitif, interaktif dan berbahasa.
Dalam proses pembentukkan identitas baru, maka individu mesti belajar berbahasa secara kompeten dan diantar ke dalam pengertian dan pemakaian standar-standar rasional dalam berkomunikasi. Kompetensi berbahasa dalam rangka pembentukkan identitas baru itu mengisyaratkan empat klaim: Kebenaran (berhadapan dengan alam luar), kejelasan (berhadapan dengan tuntutan penggunaan bahasa), ketepatan (berhadapan dengan normativitas sosial), dan kejujuran (berhadapan dengan upaya mengungkapkan batin sendiri).

Individu diskursif hanya dapat berada dalam konteks dunia kehidupan. Habermas dalam pendekatan kritisnya membedakan antara dunia kehidupan dan sistem. Dunia kehidupan dalam pandangannya adalah cakrawala pengetahuan, konteks bersama, nilai, dan pelbagai norma yang tidak direfleksikan dan merupakan latar belakang pelbagai pemikiran manusia. Maka, dunia kehidupan adalah dasar dan latar belakang suatu tindakan komunikatif (Edgar, 2006: 89-91). Dalam bahasa Habermas, dunia kehidupan adalah konsep yang melengkapi konsep tindakan komunikatif (Habermas, 2007: 162-207).
Sedangkan sistem sendiri, menurut Habermas, adalah bidang administratif masyarakat modern, yang terutama dikendalikan oleh uang dan kekuasaan. Manusia modern yang semakin dikuasai oleh sistem (uang dan kekuasaan) kerap melupakan aspek-aspek makna dari kehidupannya. Jika dibiarkan, manusia akan menjadi tidak seimbang lagi. Seharusnya, nilai dan makna dari dunia kehidupanlah yang mempengaruhi perilaku sistem, namun kenyataannya justru berkebalikan. Gejala ini disebut Habermas sebagai penjajahan sistem terhadap dunia kehidupan (Edgar, 145-6).
Dalam kenyataan penjajahan sistem terhadap dunia kehidupan itulah, individu diskursif menjadi pendekatan yang ideal dalam mewujudkan masyarakat komunikatif. Identitas manusia adalah hasil rancangan bersama, tanpa penekanan makna. Setiap individu akan mendapatkan tempatnya yang sejajar dalam masyarakat komunikatif. Setiap individu dijamin semua hak diskursifnya. Dengan demikian, kemanusiaan baru yang saling menghargai diharapkan dapat menjadi dasar terciptanya situasi ideal itu.
Manusia dalam perspektif Habermas adalah gambaran yang ideal. Gambaran ideal manusia sebagai individu diskursif itu adalah dasar pembentuk masyarakat komunikatif sebagai cita-cita universal masyarakat. Individu diskursif menjadi gagasan Habermas tentang manusia untuk menjembatani pemikiran dalam budaya Barat yang memandang bahwa individu berada lebih dominan daripada kelompoknya dengan budaya Timur yang memandang bahwa kelompok adalah yang lebih dominan daripada individu.
Dalam konteks Indonesia yang lekat dengan budaya Timur, jelas bahwa manusia sebagai individu sangat lekat dengan komunitasnya. Segala hal menyangkut dirinya sangat ditentukan oleh masyarakat. Makna dan identitas individu sekaligus menjadi gambaran identitas kelompok. Kenyataan itu membuat dominasi-dominasi tertentu yang dilegitimasi oleh budaya. Dengan dominasi itu, ada yang terpinggirkan dan tersubordinasi. Segala macam dominasi disebabkan karena ada sistem dalam pengertian tradisional yang menjadi patokan hidup bersama. Ideal manusia menurut Habermas itu menggambarkan kebutuhan akan adanya pemahaman baru tentang kemanusiaan manusia. Kebutuhan itu lahir karena sistem pasar dan negara yang telah menguasai dunia kehidupan biasa dan membuat semua tindakan baik instrumental, untuk menguasai alam, maupun strategis untuk menguasai manusia didasarkan pada rasio instrumental. Individu diskursif didasarkan pada rasio komunikatif di mana pembentukkan identitas adalah tindakan demi pemahaman bersama. Oleh karena itu, praksis manusia bukan saja tentang kerja, tetapi juga tentang komunikasi.
Akhirnya, harus disadari oleh penulis bahwa untuk mengambil jarak dan memikirkan tentang diri sendiri sebagai manusia adalah hal yang cukup sulit. Hal itu disebabkan karena selama ini yang dilakukan adalah berdistansi atau berjarak dari alam dan lingkungan serta sesama. Distansi dari diri sendiri hanya ada dalam penghayatan dan refleksi, bukan dalam deskripsi. Namun itulah filsafat, dunia yang dihayati itu mesti dideskripsikan, walaupun dengan keterbatasan juga. Pandangan Habermas yang ideal tentang individu diskursif ini menunjukkan gagasannya yang besar tentang suatu masyarakat komunikatif yang dapat mengatasi segala kenyataan pluralitas ini. Mengatasinya bukan dengan cara menyeragamkan, tetapi dengan memberikan ruang kepada semua suara yang plural itu untuk mendapatkan tempatnya dan bisa bersuara.

1 komentar:

  1. ngebetein postingannya tulisan mulu.. gada gambarnya sama sekali..

    BalasHapus